Pagi hari yang sangat cerah, Marcha bersiap-siap menuju sekolahnya yang berjarak tak jauh dari rumahnya. Begitupun dengan sahabatnya, Nala. Setiap hari, mereka selalu berangkat bersama menuju sekolah, karena mereka satu kelas dan bersahabat sejak kecil. Nala adalah anak yang aktif, baik, dan ramah. Namun disaat ia duduk dibangku SMP, Nala mengalami kecelakaan hingga menyebabkan kedua matanya menjadi buta. Marcha yang sangat sayang kepada sahabatnya itu berjanji akan mencarikan pendonor mata untuk Nala.
“Ma, aku berangkat sekolah ya,” kata
Marcha.
“Kamu bareng sama Nala ya? Hati-hati
dijalan ya sayang,” jawab wanita paruh baya itu sambil mencium kening anak
semata wayangnya. Akhirnya, ia pergi menuju rumah Nala dan berangkat bersama ke
sekolah. Sepanjang jalan, Marcha terus berpikir agar bisa mendapatkan pendonor
mata untuk Nala agar sahabatnya itu bisa melihat kembali. Sesampainya dirumah
Nala, ia melihat seorang cowok ganteng sedang berdiri didepan rumah Nala.
Marcha menghampiri cowok itu yang sedang duduk santai diteras rumah.
“Hai ka Tama. Lagi ngapain kak?”
tanyanya ramah.
“Eehh ada Marcha. Masuk sini Cha.
Mau jemput Nala ya?” jawab cowok itu.
“Iya nih kak. Nala ada didalam?”
jawab Marcha sambil duduk disamping Tama.
“Ada, bentar lagi juga keluar kok.
Nah nih dia orangnya,” kata Tama samil menengok kedalam rumahnya. Nala keluar
dari dalam ruamhnya sambil meraba-raba tembok. Tama langsung menolong sang adik
yang ingin berangkat kesekolah bersama Marcha.
“Kak, udah ada Marcha apa belum?”
tanyanya sambil memegang tangan Tama.
“Ini ada disebelah kamu, dia udah
datang daritadi,” jawab Tama sambil memberikan tangan Nala kepada Marcha.
“Udah siap Nal? Yuk berangkat,”
jawab Marcha memegang tangan Nala.
“Iya. Yuk berangkat sekarang aja
Cha, nanti takutnya telat,” jawabnya sambil tersenyum. Akhirnya, mereka berdua
pergi bersama ke sekolah. Dengan penuh rasa sabar, Marcha terus memegang tangan
kanan Nala dan berjalan pelan mengikuti langkah kaki Nala. Tangan kiri Nala
memegang sebuah tongkat yang setia menemaninya sejak kelas 2 SMP hingga
sekarang. Sesampainya disekolah, mereka langsung masuk ke kelas dan duduk
bersama.
Bel tanda pulang sekolah berbunyi.
Marcha membantu Nala membereskan buku-buku dan alat tulis milik sahabatnya itu.
Mereka keluar sekolah bersama, Marcha selalu menggenggam tangan kanan Nala.
Setibanya dipintu gerbang sekolah, mereka ternyata dijemput oleh Tama, kakak
Nala.
“Cha, masih ada les lagi gak?” tanya
Tama.
“Enggak ada kok kak. Udah selesai,”
jawab Marcha tersenyum. Nala sangat hafal dengan suara sang kakak.
“Ada kak Tama ya Cha?” tanya Nala
penasaran.
“Iya, kakak ada disini. Mau jemput
kalian. Pulang yuk,” jawab Tama sambil meraih tangan Nala.
“Tumben kak Tama jemput kita.
Makasih banyak ya kak,” jawab Nala sambil berjalan menuju mobil Tama. Begitupun
juga Marcha, yang terus berada dibelakang Nala dan Tama. Mereka pun pulang
sekolah bersama Tama.
Sesampainya dirumah Nala, Marcha
pamit untuk langsung pulang kerumahnya.
“Kak, maaf ya aku gak bisa lama-lama
disini. Soalnya aku harus bantuin mama dirumah,” katanya mengawali
perbincangan.
“Gak mampir dulu gitu Cha, temenin
Nala dirumah kayak biasanya,” jawabnya.
“Iya nih Cha. Kamu kan biasanya suka
main dulu dirumahku, kok sekarang udah jarang banget sih main?” tambah Nala.
“Maaf banget ya Nal, besok aku main
deh dirumah kamu. Hari ini aku mau bantuin mama dirumah. Gapapa kan Nal?” jelas
Marcha.
“Yaudah deh kalo gitu. Kamu hati-hati
dijalan ya Cha. Janji loh besok kamu main kerumah aku,” jawab Nala sambil
tersenyum dan berharap.
“Iya aku janji besok main kerumah
kamu pulang sekolah. Bye Nala!” jawabnya sambil keluar dari mobil Tama. Tak
lama, Nala juga keluar dari mobil, dibantu oleh sang kakak.
Sejak pulang dari sekolah hingga
sampai dirumahnya, Marcha terus merasakan sesak nafas. Namun, ketika berada
didepan Nala, ia sengaja menyembunyikan rasa sakit didadanya. Marcha terus
memegangi dadanya yang sesak sambil minum obat yang diberikan oleh dokter
seminggu yang lalu. Lalu, ia menuju lemari pakaian dan membuka laci yang berada
ditengah-tengah lemarinya. Ia mengambil sebuah map berwarna merah dan
membukanya. ‘Tuhan, apakah umurku masih panjang? Penyakit ini sangat mengganggu
aktifitasku sehari-hari. Dadaku sakit, sangat sakit. Tuhan, berikanlah aku umur
panjang, agar aku bisa melihat sahabatku Nala tersenyum karena sudah
mendapatkan pendonor mata yang cocok,’ katanya dalam hati sambil meneteskan air
matanya.
“Chaa,
makan siang dulu yuk sayang. Udah ada papa nih disini, turun yuk nak,” sang
bunda memanggil Marcha dari ruang makan. Seketika ia langsung mengembalikan map
yang berisi hasil pemeriksaannya seminggu lalu didalam laci itu. Lalu, ia
mengusap air matanya dengan tisu dikamarnya dan segera menuju ruang makan.
“Kamu
abis nangis ya Cha?” tanya sang ayah.
“Enggak
kok pa, tadi lagi tiduran terus kena debu dari atap kamar aku,” jawab Marcha
tersenyum.
“Abis
makan, mama tetesin obat mata ya. Biar mata kamu gak infeksi nanti,” sambung
sang ibu. Marcha meengangguk tanda setuju. ‘Pa, ma, maafin Marcha. Marcha gak
bermaksud untuk bohongi mama sama papa. Marcha takut mama sama papa kaget dan
tahu tentang penyakit yang sekarang Marcha alami,’ katanya dalam hati sambil
memandangi wajah kedua orangtuanya. Setelah selesai makan, Marcha langsung naik
menuju kamarnya yang berada dilantai dua.
Hari
mulai berganti sore. Dan malam pun tiba. Bel rumah Marcha berbunyi. Sang bunda
yang sedang berada diruang keluarga bersama sang suami berlari menuju pintu dan
kaget melihat ada seorang cowok tampan berdiri didepan pintu rumahnya.
“Eeehh
ada nak Aldo. Tumben datang kesini. Ada apa ya?” kata sang bunda menyapa.
“Marcha
ada gak tante?” jawab Aldo.
“Adak
kok, paling lagi ngerjain tugas. Sini masuk nak Aldo,” kata sang bunda sambil
membawa Aldo masuk keruang tamu. “Tunggu sebentar ya, tante panggilin Marcha
dulu diatas”. Sang bunda berjalan cepat menuju kamar anaknya.
Sang
bunda mengetuk pintu kamar Marcha dua kali. Tak lama, Marcha membuka pintu
kamarnya dan kaget ada sang bunda disana.
“Eehh
mama. Ada apa ma?” tanyanya.
“Dibawah
ada Aldo tuh sayang. Samperin gih, mungkin ada hal penting yang mau disampaikan
sama kamu,” jawab sang bunda sambil mengelus rambut Marcha.
“Ooohh
ada Aldo. Yaudah bentar ya ma, aku mau beresin kamar dulu. Nanti aku kebawah
temuin Aldo,” jawab Marcha tersenyum simpul. Sang bunda mengangguk dan turun
menuju ruang tamu. “Sebentar ya nak Aldo, Marchanya lagi beresin kamar, nanti
dia turun kok kesini,” kata sang bunda ramah. Aldo mengangguk sambil tersenyum
kepada ibunda Marcha. Tak lama, orang yang ditunggu-tunggu Aldo datang juga.
“Hai
Cha. Maaf ya ganggu kamu malam-malam, ada yang mau aku omongin,” katanya sambil
berdiri dan menyambut Marcha.
“Ada
apa Do? Ngomong aja,” jawabnya santai.
“Gini
Cha. Sebenernya, aku udah menyimpan rasa sama kamu sejak kelas 1 SMA. Sampe sekarang,
rasa itu masih ada. Jadi intinya, kamu mau gak jadi pacar aku?” kata Aldo.
Marcha kaget dan terdiam sejenak mendengar perkataan Aldo. Satu sisi, Marcha
sudah berjanji kepada kedua orangtuanya untuk tidak berpacaran dengan teman
sekolahnya hingga ia lulus. Namun disisi lain, Marcha juga sayang kepada Aldo,
teman semasa SDnya dulu.
“Bisa
kasih aku waktu sampai besok lusa? Aku harus berpikir dulu,” jawab Marcha
bingung.
“Aku
ngerti kok Cha sama perasaan kamu saat ini. Apapun keputusan kamu, akan aku terima
dengan ikhlas,” jawab Aldo pelan.
“Makasih
banyak ya Do atas pengertiannya,” jawab Marcha tersenyum.
“Kalo
gitu, aku pamit pulang ya Cha. Sampai bertemu besok disekolah,” jawabnya sambil
pergi. Marcha hanya tersenyum didepan pintu rumahnya sambil memperhatikan Aldo
hingga masuk kedalam mobilnya. ‘Bukan maksud aku untuk menolak kamu Do, tapi
waktu aku gak banyak. Kamu dan teman-teman lainnya gak tau bahwa aku punya
penyakit jantung koroner sejak aku kelas 3 SMP. Maafin aku ya Do,’ katanya
dalam hati sambil menutup pintunya.
Keesokan
harinya, Marcha kembali kesekolah bersama Nala. Sesampainya dirumah Nala, ia
berpesan kepada Tama, kakak Nala.
“Kak,
nanti kalo aku udah gak ada tolong jagain Nala ya kak. Aku takut kalo nanti aku
gak bisa nemenin dia berangkat sekolah lagi,” jelas Marcha sambil berbisik.
“Cha,
kamu ngomong apa sih? Kamu masih bisa bareng sama Nala, gak boleh ngomong
gitu,” jawabnya tegas.
“Ya
maaf deh kak, aku kan takut aja gitu. Nanti aku cariin pendonor mata yang cocok
untuk Nala. Biar dia bisa melihat dunia dan sekitarnya,” jawab Marcha lirih.
Tak lama, Nala keluar dan mendengar pembicaraan Marcha dengan Tama.
“Chaaa…kamu
gak boleh ngomong gitu. Aku gapapa kok begini, justru karena ada kamu hidup aku
jadi lengkap. Meskipun aku gak bisa melihat sekitar, tapi dengan adanya kamu
aku jadi bisa merasakan indahnya dunia,” katanya sambil berjalan menuju Marcha.
“Aku
janji Nal, aku akan cariin pendonor mata yang cocok buat kamu ya. Aku janji
buat kamu,” kata Marcha sambil memegang tangan Nala. Nala meneteskan air mata,
dan memeluk Marcha sangat erat. Tama yang melihat persahabatan Marcha dan Nala
terharu melihat kedekatan mereka.
“Udah
udah, kalian berangkat sekolah sana. Nanti telat lho,” kata Tama mencoba
menengah. Nala mengusap air matanya dan segera pergi ke sekolah bersama Marcha.
‘Nal, maafin aku. Aku bohong sama penyakit aku sama kamu, aku gak mau kamu
sedih dan terus mikirin kondisi aku saat ini. Maafin aku Nal, maafin aku,’ kata
Marcha dalam hati. Ia mencoba tersenyum walaupun ia sudah berbohong kepada
sahabatnya sendiri.
Sesampainya
disekolah, Marcha mengantarkan Nala ke kelas. Lalu, ia pamit kepada Nala yang
sedang duduk diam.
“Nal,
aku ke kamar mandi dulu ya sebentar. Kamu jangan kemana-mana,” katanya.
“Oohh
iya Cha,” jawabnya sambil mengangguk. Marcha segera berlari ke kamar mandi dan
mengunci pintu. Dadanya semakin terasa sakit, sangat sakit dibandingkan
kemarin. Marcha mengeluarkan obat yang sengaja ia bawa dari rumah dan
meminumnya. Beberapa saat setelah ia minum obat itu, bel tanda masuk sekolahpun
berbunyi. Marcha segera masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran seperti
biasanya.
Sepulang
sekolah, ia pulang bersama Nala. Kali ini, ia menepati janjinya kemarin bahwa
akan main dirumah Nala hingga sore. Nala menagih janji Marcha kemarin.
“Cha,
hari ini kamu jadi main kan kerumahku?” tanya Nala.
“Iya
kok, aku jadi main kerumah kamu sekarang,” jawab Marcha sambil menyembunyikan
rasa sakit didadanya.
“Kamu
gapapa kan Cha? Kok suaranya agak beda? Kamu abis nangis ya?” kata Nala heran.
“Aku
gapapa kok Nal, Cuma dari semalam aku lagi flu. Jadi suaranya beda begini, maaf
ya Nal,” jawabnya sambil tersenyum kecil. Nala masih penasaran dengan apa yang
terjadi kepada sahabatnya itu. Sesampainya dirumah, mereka disambut oleh ibu
dan kakak Nala.
“Eeehh
kalian udah pulang. Yuk sini masuk, makan siang dulu. Ibu udah buatkan makanan
kesukaan Nala,” sambut sang bunda.
“Iya
tante, maaksih banyak. Jadi ngerepotin nih,” jawab Marcha tersipu malu.
“Gapapa
Cha, anggap aja ini rumah kamu sendiri ya,” sambung Tama.
“Ayo
masuk Cha, kita makan bareng-bareng,” ajak Nala sambil masuk kedalam rumahnya. Marcha
dan Tama pun ikut masuk kedalam rumah dan menuju ruang makan. Marcha tersenyum
kala melihat hidangan yang ada dimeja makan, ia teringat dikala sang ayah
berulang tahun sebulan yang lalu. ‘Besok dan selamanya aku gak akan bisa
menikmati hidangan ini lagi dirumah, ataupun dirumah Nala,’ katanya dalam hati.
“Duduk
sini Cha, disamping aku,” kata Nala.
“Waahh,
ini masakan yang aku makan terakhir kalinya. Keliatannya enak ya tante,” ujar
Marcha tanpa sadar. Tama, ibu dan Nala terdiam mendengar perkataan Marcha barusan.
Tama pun mencoba memeluk Marcha yang saat itu sedang bingung karena mereka
diam.
“Ada
apa nih? Kalian kok diam semuanya?” tanyanya heran.
“Cha,
maafin kesalahan kakak ya selama ini. Kalo kakak ada salah-salah kata, sering
ngeledek kamu, sering marahin kamu. Maafin ya Cha,” katanya sambil menahan
tangis. Nala pun mendekat ke arah Marcha dan Tama.
“Cha,
kamu gak boleh ngomong gitu. Kamu masih bisa kok makan disini, bareng-bareng
sama kita,” kata Nala menangis. Marcha terdiam dan melihat sekeliling. Dadanya semakin
sakit, hingga akhirnya ia pingsan dipelukan Tama.
“Chaa…bangun
Cha. Marcha bangun Cha,” teriak Tama panik. Nala mencoba membangunkan Marcha
tapi tak berhasil. Akhirnya, mereka pun membawa Marcha kerumah sakit dan
menghubungi orangtua Marcha.
Sesampainya
dirumah sakit, Marcha segera dibawa keruang IGD dan mendapatkan perawatan
intensif. Tama berusaha tenang dan mencoba menghubungi orangtua Marcha.
‘Halo
tante’
‘Iya
halo. Ada apa ya nak Tama? Tumben telfon tante’
‘Ini…anu
tante. Mau ngabarin kalo……kalo Marcha itu…’
‘Ada
apa sama Marcha?’
‘Marcha
masuk rumah sakit tante’
‘Apaaaaaa…………?’
ibunda Marcha kaget dan shock. Sang suami pun kaget melihat istrinya duduk
terdiam sambil menangis disofa ruang keluarga. “Ma, ada apa ma? Mama kenapa
begini?” tanya sang suami. Ia melihat sambungan telfon dari Tama masih
tersambung. Ia mencoba bertanya kepada Tama.
‘Halo.
Ini Tama ya?’
‘Iya
om. Tante Devi gapapa om?’
‘Dia
kaget, masih shock. Ada apa sebenarnya?’
‘Marcha
om……dia masuk rumah sakit barusan’
‘Mar…Marcha
masuk rumah sakit? Baiklah, om sama tante segera kesana ya. Terimakasih atas
infonya nak Tama’. Kedua orangtua Marcha langsung menuju rumah sakit tempat
anak mereka dirawat. Tama, Nala dan ibunya menunggu diruang tunggu sambil
menenangkan Nala yang terus-terusan menangis karena khawatir dengan kondisi
sahabatnya. Tak lama, datanglah orangtua Marcha. Mereka terlihat berjalan
dengan langkah kaki yang cepat, menghampiri Nala, Tama serta ibunda mereka. Dengan
wajah yang lemas dan pucat, ibunda Marcha mencoba tenang dan tak henti-hentinya
mengucapkan doa agar sang anak kembali sembuh.
“Tante…”
kata Tama sambil menyambut orangtua Marcha.
“Gimana
kondisi Marcha Tam?” tanya tante Devi.
“Masih
ada didalam tante. Yang sabar ya tante, om,” jawab nya pelan. Tak lama,
keluarlah dokter yang menangani Marcha. “Apakah diantara kalian ada keluarga
pasien?” tanya sang dokter. “Kami orangtua Marcha dok,” jawab sang ayah. “Mari
ikut saya. Ada yang ingin saya bicarakan kepada bapak dan ibu mengenai kondisi
pasien,” jawab sang dokter sambil berjalan menuju ruangannya. Tama, Nala dan
sang ibunda menunggu kondisi Marcha diruang tunggu. Nala terus menerus
menangis, takut akan kondisi Marcha yang kritis saat itu.
“Sebelumnya,
saya minta maaf kepada bapak dan ibu bahwa sebenarnya anak bapak menderita
penyakit jantung koroner,” jelas sang dokter.
“Apa?
Jantung koroner? Kenapa bisa dok?” jawab sang ayah. Ibunda Marcha kaget dan
seketika menangis ketika dokter menjelaskan penyakit yang diderita Marcha.
“Anak
bapak sendiri yang meminta saya untuk merahasiakan penyakit ini kepada bapak
dan ibu. Karena dia takut bapak dan ibu menangis dan khawatir akan kesehatan
Marcha,” jawabnya tenang.
“Sudah
seberapa parah penyakit jantung koroner Marcha?” tanya sang bunda menahan air
matanya.
“Kondisinya
sudah sangat parah. Saat ini ia sedang kritis. Saya mohon kepada bapak dan ibu
untuk tenang dan mencoba menerima semua ini,” jelas sang dokter pelan. Orangtua
Marcha sangat kaget dan shock ketika mendengar penjelasan dari sang dokter. Tak
ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka.
“Ini
ada surat dari Marcha untuk bapak dan ibu,” katanya sambil memberikan amplop
cokelat.
‘Pa, Ma, maafin Marcha ya.
Marcha gak bermaksud untuk membuat mama sama papa kecewa, marah, sedih, kesal,
tapi Marcha ngelakuin ini demi mama sama papa. Marcha tau kok mama sama papa
sayang banget sama Marcha. Marcha juga sayaang banget sama mama dan papa, tapi
ini terakhir kalinya Marcha menulis surat ini. Oh iya, ma, tolong kasih amplop
warna pink sama Nala ya. Suratnya ada dilaci meja belajar aku dikamar, dan aku
mau mendonorkan mataku untuknya. Tolong ya mama sama papa rahasiakan ini sama
Nala, sampai ia selesai operasi pendonoran mata nanti. Ada juga surat untuk Aldo,
amplop yang sama tapi warna merah. Tolong dikasih sama Aldo ya ma, pa. Jangan
kasih tau sama Aldo dan Nala soal penyakit aku ini. Marcha sayang banget sama
mama dan papa, semuanya Marcha juga sayang. Love, Marcha.’ tulisnya dalam amplop tersebut. Kedua orangtua
Marcha kaget dan sedih membaca surat terakhir dari anak kesayangannya. Tak lama,
suster penjaga ruang UGD masuk dan memberitahukan sang dokter bahwa kondisi
Marcha semakin kritis. Kedua orangtua Marcha segera menuju ruang UGD dan
menunggu diruang tunggu bersama Nala, Tama dan bu Rina. Ibunda Marcha terus
menerus menangis dan berdoa agar anak kesayangannya diberikan kesembuhan. Setelah
beberapa jam menunggu, sang dokter keluar dengan wajah yang murung.
“Bagi
bapak dan ibu, serta semua yang ada disini. Saya mohon agar diikhlaskan
kepergian Marcha selama-lamanya. Saya sudah melakukan tindakan intensif dan
semampu saya, namun Tuhan berkehendak lain. Marcha, kini sudah tidak bersama
dengan kita,” jelas sang dokter pelan. Suara tangis dan teriakan memanggil nama
Marcha keluar dari mulut sang bunda serta Nala. Mereka mengikhlaskan kepergian
Marcha untuk selama-lamanya, meski bagi Nala dan Tama susah untuk melupakan
Marcha yang sudah mereka kenal sejak kecil itu.
Seminggu
setelah kepergian Marcha, kini Nala sudah bisa melihat dan merasakan keindahan
dunia. Ia mendapatkan donor mata dari sahabatnya sendiri, Marcha. Lalu, ia
membaca surat dari Marcha yang diberikan oleh orangtua Marcha sehari setelah
sahabatnya itu meninggal.
‘Hai Nala. Apa kabar? Semoga kamu
baik-baik aja ya. Aku kangeeennn banget sama kamu, kamu main dong kesini. Oh iya,
selamat ya. Sekarang akhirnya kamu udah bisa melihat lagi setelah mendapatkan
pendonor mata yang cocok. Tapi sayangnya, aku gak ada disamping kamu saat
operasi kemarin. Gimana operasinya? Lancar kan? Semoga semuanya berjalan dengan
lancar ya Nal. Seandainya kamu tau Nal, bahwa pendonor mata untuk kamu adalah
aku. Aku pendonor pertama kamu, inget gak aku pernah janji sama kamu kalo aku
mau cariin pendonor mata yang pas buat kamu? Itu aku orangnya Nal. Maaf, kalo
aku bohongin kamu tentang semua ini. Tapi kalo aku bilang sama kamu, pasti kamu
akan menolaknya. Kamu janji ya sama aku, jangan tolak permintaan aku ini. Aku
begini karena aku sayang sama kamu Nal, kamu sahabat aku sejak kecil. Cuma kamu
yang aku punya saat ini, maafin aku ya Nal udah gak jujur sama kamu. Pokoknya,
kamu harus jadi orang yang pinter. Buat aku bangga punya sahabat seperti kamu. I
love you, Nala!
Sincerely, your bestfriend.’ Nala seketika menitikkan air mata, terdiam
dan menatap ke langit. Ia melihat ada sekilas wajah Marcha sedang tersenyum. “Aku
akan buat kamu bangga Cha. Aku sayang sama kamu, Marcha, sahabatku sejak kecil,”
katanya sambil tersenyum.
-Selesai-