2.20.2014

Persahabatan yang tak hilang

Pagi hari yang sangat cerah, Marcha bersiap-siap menuju sekolahnya yang berjarak tak jauh dari rumahnya. Begitupun dengan sahabatnya, Nala. Setiap hari, mereka selalu berangkat bersama menuju sekolah, karena mereka satu kelas dan bersahabat sejak kecil. Nala adalah anak yang aktif, baik, dan ramah. Namun disaat ia duduk dibangku SMP, Nala mengalami kecelakaan hingga menyebabkan kedua matanya menjadi buta. Marcha yang sangat sayang kepada sahabatnya itu berjanji akan mencarikan pendonor mata untuk Nala.

            “Ma, aku berangkat sekolah ya,” kata Marcha.
            “Kamu bareng sama Nala ya? Hati-hati dijalan ya sayang,” jawab wanita paruh baya itu sambil mencium kening anak semata wayangnya. Akhirnya, ia pergi menuju rumah Nala dan berangkat bersama ke sekolah. Sepanjang jalan, Marcha terus berpikir agar bisa mendapatkan pendonor mata untuk Nala agar sahabatnya itu bisa melihat kembali. Sesampainya dirumah Nala, ia melihat seorang cowok ganteng sedang berdiri didepan rumah Nala. Marcha menghampiri cowok itu yang sedang duduk santai diteras rumah.
            “Hai ka Tama. Lagi ngapain kak?” tanyanya ramah.
            “Eehh ada Marcha. Masuk sini Cha. Mau jemput Nala ya?” jawab cowok itu.
            “Iya nih kak. Nala ada didalam?” jawab Marcha sambil duduk disamping Tama.
            “Ada, bentar lagi juga keluar kok. Nah nih dia orangnya,” kata Tama samil menengok kedalam rumahnya. Nala keluar dari dalam ruamhnya sambil meraba-raba tembok. Tama langsung menolong sang adik yang ingin berangkat kesekolah bersama Marcha.
            “Kak, udah ada Marcha apa belum?” tanyanya sambil memegang tangan Tama.
            “Ini ada disebelah kamu, dia udah datang daritadi,” jawab Tama sambil memberikan tangan Nala kepada Marcha.
            “Udah siap Nal? Yuk berangkat,” jawab Marcha memegang tangan Nala.
            “Iya. Yuk berangkat sekarang aja Cha, nanti takutnya telat,” jawabnya sambil tersenyum. Akhirnya, mereka berdua pergi bersama ke sekolah. Dengan penuh rasa sabar, Marcha terus memegang tangan kanan Nala dan berjalan pelan mengikuti langkah kaki Nala. Tangan kiri Nala memegang sebuah tongkat yang setia menemaninya sejak kelas 2 SMP hingga sekarang. Sesampainya disekolah, mereka langsung masuk ke kelas dan duduk bersama.

            Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Marcha membantu Nala membereskan buku-buku dan alat tulis milik sahabatnya itu. Mereka keluar sekolah bersama, Marcha selalu menggenggam tangan kanan Nala. Setibanya dipintu gerbang sekolah, mereka ternyata dijemput oleh Tama, kakak Nala.
            “Cha, masih ada les lagi gak?” tanya Tama.
            “Enggak ada kok kak. Udah selesai,” jawab Marcha tersenyum. Nala sangat hafal dengan suara sang kakak.
            “Ada kak Tama ya Cha?” tanya Nala penasaran.
            “Iya, kakak ada disini. Mau jemput kalian. Pulang yuk,” jawab Tama sambil meraih tangan Nala.
            “Tumben kak Tama jemput kita. Makasih banyak ya kak,” jawab Nala sambil berjalan menuju mobil Tama. Begitupun juga Marcha, yang terus berada dibelakang Nala dan Tama. Mereka pun pulang sekolah bersama Tama.

            Sesampainya dirumah Nala, Marcha pamit untuk langsung pulang kerumahnya.
            “Kak, maaf ya aku gak bisa lama-lama disini. Soalnya aku harus bantuin mama dirumah,” katanya mengawali perbincangan.
            “Gak mampir dulu gitu Cha, temenin Nala dirumah kayak biasanya,” jawabnya.
            “Iya nih Cha. Kamu kan biasanya suka main dulu dirumahku, kok sekarang udah jarang banget sih main?” tambah Nala.
            “Maaf banget ya Nal, besok aku main deh dirumah kamu. Hari ini aku mau bantuin mama dirumah. Gapapa kan Nal?” jelas Marcha.
            “Yaudah deh kalo gitu. Kamu hati-hati dijalan ya Cha. Janji loh besok kamu main kerumah aku,” jawab Nala sambil tersenyum dan berharap.
            “Iya aku janji besok main kerumah kamu pulang sekolah. Bye Nala!” jawabnya sambil keluar dari mobil Tama. Tak lama, Nala juga keluar dari mobil, dibantu oleh sang kakak.

            Sejak pulang dari sekolah hingga sampai dirumahnya, Marcha terus merasakan sesak nafas. Namun, ketika berada didepan Nala, ia sengaja menyembunyikan rasa sakit didadanya. Marcha terus memegangi dadanya yang sesak sambil minum obat yang diberikan oleh dokter seminggu yang lalu. Lalu, ia menuju lemari pakaian dan membuka laci yang berada ditengah-tengah lemarinya. Ia mengambil sebuah map berwarna merah dan membukanya. ‘Tuhan, apakah umurku masih panjang? Penyakit ini sangat mengganggu aktifitasku sehari-hari. Dadaku sakit, sangat sakit. Tuhan, berikanlah aku umur panjang, agar aku bisa melihat sahabatku Nala tersenyum karena sudah mendapatkan pendonor mata yang cocok,’ katanya dalam hati sambil meneteskan air matanya.
“Chaa, makan siang dulu yuk sayang. Udah ada papa nih disini, turun yuk nak,” sang bunda memanggil Marcha dari ruang makan. Seketika ia langsung mengembalikan map yang berisi hasil pemeriksaannya seminggu lalu didalam laci itu. Lalu, ia mengusap air matanya dengan tisu dikamarnya dan segera menuju ruang makan.
“Kamu abis nangis ya Cha?” tanya sang ayah.
“Enggak kok pa, tadi lagi tiduran terus kena debu dari atap kamar aku,” jawab Marcha tersenyum.
“Abis makan, mama tetesin obat mata ya. Biar mata kamu gak infeksi nanti,” sambung sang ibu. Marcha meengangguk tanda setuju. ‘Pa, ma, maafin Marcha. Marcha gak bermaksud untuk bohongi mama sama papa. Marcha takut mama sama papa kaget dan tahu tentang penyakit yang sekarang Marcha alami,’ katanya dalam hati sambil memandangi wajah kedua orangtuanya. Setelah selesai makan, Marcha langsung naik menuju kamarnya yang berada dilantai dua.

Hari mulai berganti sore. Dan malam pun tiba. Bel rumah Marcha berbunyi. Sang bunda yang sedang berada diruang keluarga bersama sang suami berlari menuju pintu dan kaget melihat ada seorang cowok tampan berdiri didepan pintu rumahnya.
“Eeehh ada nak Aldo. Tumben datang kesini. Ada apa ya?” kata sang bunda menyapa.
“Marcha ada gak tante?” jawab Aldo.
“Adak kok, paling lagi ngerjain tugas. Sini masuk nak Aldo,” kata sang bunda sambil membawa Aldo masuk keruang tamu. “Tunggu sebentar ya, tante panggilin Marcha dulu diatas”. Sang bunda berjalan cepat menuju kamar anaknya.
Sang bunda mengetuk pintu kamar Marcha dua kali. Tak lama, Marcha membuka pintu kamarnya dan kaget ada sang bunda disana.
“Eehh mama. Ada apa ma?” tanyanya.
“Dibawah ada Aldo tuh sayang. Samperin gih, mungkin ada hal penting yang mau disampaikan sama kamu,” jawab sang bunda sambil mengelus rambut Marcha.
“Ooohh ada Aldo. Yaudah bentar ya ma, aku mau beresin kamar dulu. Nanti aku kebawah temuin Aldo,” jawab Marcha tersenyum simpul. Sang bunda mengangguk dan turun menuju ruang tamu. “Sebentar ya nak Aldo, Marchanya lagi beresin kamar, nanti dia turun kok kesini,” kata sang bunda ramah. Aldo mengangguk sambil tersenyum kepada ibunda Marcha. Tak lama, orang yang ditunggu-tunggu Aldo datang juga.
“Hai Cha. Maaf ya ganggu kamu malam-malam, ada yang mau aku omongin,” katanya sambil berdiri dan menyambut Marcha.
“Ada apa Do? Ngomong aja,” jawabnya santai.
“Gini Cha. Sebenernya, aku udah menyimpan rasa sama kamu sejak kelas 1 SMA. Sampe sekarang, rasa itu masih ada. Jadi intinya, kamu mau gak jadi pacar aku?” kata Aldo. Marcha kaget dan terdiam sejenak mendengar perkataan Aldo. Satu sisi, Marcha sudah berjanji kepada kedua orangtuanya untuk tidak berpacaran dengan teman sekolahnya hingga ia lulus. Namun disisi lain, Marcha juga sayang kepada Aldo, teman semasa SDnya dulu.
“Bisa kasih aku waktu sampai besok lusa? Aku harus berpikir dulu,” jawab Marcha bingung.
“Aku ngerti kok Cha sama perasaan kamu saat ini. Apapun keputusan kamu, akan aku terima dengan ikhlas,” jawab Aldo pelan.
“Makasih banyak ya Do atas pengertiannya,” jawab Marcha tersenyum.
“Kalo gitu, aku pamit pulang ya Cha. Sampai bertemu besok disekolah,” jawabnya sambil pergi. Marcha hanya tersenyum didepan pintu rumahnya sambil memperhatikan Aldo hingga masuk kedalam mobilnya. ‘Bukan maksud aku untuk menolak kamu Do, tapi waktu aku gak banyak. Kamu dan teman-teman lainnya gak tau bahwa aku punya penyakit jantung koroner sejak aku kelas 3 SMP. Maafin aku ya Do,’ katanya dalam hati sambil menutup pintunya.
Keesokan harinya, Marcha kembali kesekolah bersama Nala. Sesampainya dirumah Nala, ia berpesan kepada Tama, kakak Nala.
“Kak, nanti kalo aku udah gak ada tolong jagain Nala ya kak. Aku takut kalo nanti aku gak bisa nemenin dia berangkat sekolah lagi,” jelas Marcha sambil berbisik.
“Cha, kamu ngomong apa sih? Kamu masih bisa bareng sama Nala, gak boleh ngomong gitu,” jawabnya tegas.
“Ya maaf deh kak, aku kan takut aja gitu. Nanti aku cariin pendonor mata yang cocok untuk Nala. Biar dia bisa melihat dunia dan sekitarnya,” jawab Marcha lirih. Tak lama, Nala keluar dan mendengar pembicaraan Marcha dengan Tama.
“Chaaa…kamu gak boleh ngomong gitu. Aku gapapa kok begini, justru karena ada kamu hidup aku jadi lengkap. Meskipun aku gak bisa melihat sekitar, tapi dengan adanya kamu aku jadi bisa merasakan indahnya dunia,” katanya sambil berjalan menuju Marcha.
“Aku janji Nal, aku akan cariin pendonor mata yang cocok buat kamu ya. Aku janji buat kamu,” kata Marcha sambil memegang tangan Nala. Nala meneteskan air mata, dan memeluk Marcha sangat erat. Tama yang melihat persahabatan Marcha dan Nala terharu melihat kedekatan mereka.
“Udah udah, kalian berangkat sekolah sana. Nanti telat lho,” kata Tama mencoba menengah. Nala mengusap air matanya dan segera pergi ke sekolah bersama Marcha. ‘Nal, maafin aku. Aku bohong sama penyakit aku sama kamu, aku gak mau kamu sedih dan terus mikirin kondisi aku saat ini. Maafin aku Nal, maafin aku,’ kata Marcha dalam hati. Ia mencoba tersenyum walaupun ia sudah berbohong kepada sahabatnya sendiri.

Sesampainya disekolah, Marcha mengantarkan Nala ke kelas. Lalu, ia pamit kepada Nala yang sedang duduk diam.
“Nal, aku ke kamar mandi dulu ya sebentar. Kamu jangan kemana-mana,” katanya.
“Oohh iya Cha,” jawabnya sambil mengangguk. Marcha segera berlari ke kamar mandi dan mengunci pintu. Dadanya semakin terasa sakit, sangat sakit dibandingkan kemarin. Marcha mengeluarkan obat yang sengaja ia bawa dari rumah dan meminumnya. Beberapa saat setelah ia minum obat itu, bel tanda masuk sekolahpun berbunyi. Marcha segera masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasanya.
Sepulang sekolah, ia pulang bersama Nala. Kali ini, ia menepati janjinya kemarin bahwa akan main dirumah Nala hingga sore. Nala menagih janji Marcha kemarin.
“Cha, hari ini kamu jadi main kan kerumahku?” tanya Nala.
“Iya kok, aku jadi main kerumah kamu sekarang,” jawab Marcha sambil menyembunyikan rasa sakit didadanya.
“Kamu gapapa kan Cha? Kok suaranya agak beda? Kamu abis nangis ya?” kata Nala heran.
“Aku gapapa kok Nal, Cuma dari semalam aku lagi flu. Jadi suaranya beda begini, maaf ya Nal,” jawabnya sambil tersenyum kecil. Nala masih penasaran dengan apa yang terjadi kepada sahabatnya itu. Sesampainya dirumah, mereka disambut oleh ibu dan kakak Nala.

“Eeehh kalian udah pulang. Yuk sini masuk, makan siang dulu. Ibu udah buatkan makanan kesukaan Nala,” sambut sang bunda.
“Iya tante, maaksih banyak. Jadi ngerepotin nih,” jawab Marcha tersipu malu.
“Gapapa Cha, anggap aja ini rumah kamu sendiri ya,” sambung Tama.
“Ayo masuk Cha, kita makan bareng-bareng,” ajak Nala sambil masuk kedalam rumahnya. Marcha dan Tama pun ikut masuk kedalam rumah dan menuju ruang makan. Marcha tersenyum kala melihat hidangan yang ada dimeja makan, ia teringat dikala sang ayah berulang tahun sebulan yang lalu. ‘Besok dan selamanya aku gak akan bisa menikmati hidangan ini lagi dirumah, ataupun dirumah Nala,’ katanya dalam hati.
“Duduk sini Cha, disamping aku,” kata Nala.
“Waahh, ini masakan yang aku makan terakhir kalinya. Keliatannya enak ya tante,” ujar Marcha tanpa sadar. Tama, ibu dan Nala terdiam mendengar perkataan Marcha barusan. Tama pun mencoba memeluk Marcha yang saat itu sedang bingung karena mereka diam.
“Ada apa nih? Kalian kok diam semuanya?” tanyanya heran.
“Cha, maafin kesalahan kakak ya selama ini. Kalo kakak ada salah-salah kata, sering ngeledek kamu, sering marahin kamu. Maafin ya Cha,” katanya sambil menahan tangis. Nala pun mendekat ke arah Marcha dan Tama.
“Cha, kamu gak boleh ngomong gitu. Kamu masih bisa kok makan disini, bareng-bareng sama kita,” kata Nala menangis. Marcha terdiam dan melihat sekeliling. Dadanya semakin sakit, hingga akhirnya ia pingsan dipelukan Tama.
“Chaa…bangun Cha. Marcha bangun Cha,” teriak Tama panik. Nala mencoba membangunkan Marcha tapi tak berhasil. Akhirnya, mereka pun membawa Marcha kerumah sakit dan menghubungi orangtua Marcha.

Sesampainya dirumah sakit, Marcha segera dibawa keruang IGD dan mendapatkan perawatan intensif. Tama berusaha tenang dan mencoba menghubungi orangtua Marcha.
‘Halo tante’
‘Iya halo. Ada apa ya nak Tama? Tumben telfon tante’
‘Ini…anu tante. Mau ngabarin kalo……kalo Marcha itu…’
‘Ada apa sama Marcha?’
‘Marcha masuk rumah sakit tante’
‘Apaaaaaa…………?’ ibunda Marcha kaget dan shock. Sang suami pun kaget melihat istrinya duduk terdiam sambil menangis disofa ruang keluarga. “Ma, ada apa ma? Mama kenapa begini?” tanya sang suami. Ia melihat sambungan telfon dari Tama masih tersambung. Ia mencoba bertanya kepada Tama.
‘Halo. Ini Tama ya?’
‘Iya om. Tante Devi gapapa om?’
‘Dia kaget, masih shock. Ada apa sebenarnya?’
‘Marcha om……dia masuk rumah sakit barusan’
‘Mar…Marcha masuk rumah sakit? Baiklah, om sama tante segera kesana ya. Terimakasih atas infonya nak Tama’. Kedua orangtua Marcha langsung menuju rumah sakit tempat anak mereka dirawat. Tama, Nala dan ibunya menunggu diruang tunggu sambil menenangkan Nala yang terus-terusan menangis karena khawatir dengan kondisi sahabatnya. Tak lama, datanglah orangtua Marcha. Mereka terlihat berjalan dengan langkah kaki yang cepat, menghampiri Nala, Tama serta ibunda mereka. Dengan wajah yang lemas dan pucat, ibunda Marcha mencoba tenang dan tak henti-hentinya mengucapkan doa agar sang anak kembali sembuh.
“Tante…” kata Tama sambil menyambut orangtua Marcha.
“Gimana kondisi Marcha Tam?” tanya tante Devi.
“Masih ada didalam tante. Yang sabar ya tante, om,” jawab nya pelan. Tak lama, keluarlah dokter yang menangani Marcha. “Apakah diantara kalian ada keluarga pasien?” tanya sang dokter. “Kami orangtua Marcha dok,” jawab sang ayah. “Mari ikut saya. Ada yang ingin saya bicarakan kepada bapak dan ibu mengenai kondisi pasien,” jawab sang dokter sambil berjalan menuju ruangannya. Tama, Nala dan sang ibunda menunggu kondisi Marcha diruang tunggu. Nala terus menerus menangis, takut akan kondisi Marcha yang kritis saat itu.

“Sebelumnya, saya minta maaf kepada bapak dan ibu bahwa sebenarnya anak bapak menderita penyakit jantung koroner,” jelas sang dokter.
“Apa? Jantung koroner? Kenapa bisa dok?” jawab sang ayah. Ibunda Marcha kaget dan seketika menangis ketika dokter menjelaskan penyakit yang diderita Marcha.
“Anak bapak sendiri yang meminta saya untuk merahasiakan penyakit ini kepada bapak dan ibu. Karena dia takut bapak dan ibu menangis dan khawatir akan kesehatan Marcha,” jawabnya tenang.
“Sudah seberapa parah penyakit jantung koroner Marcha?” tanya sang bunda menahan air matanya.
“Kondisinya sudah sangat parah. Saat ini ia sedang kritis. Saya mohon kepada bapak dan ibu untuk tenang dan mencoba menerima semua ini,” jelas sang dokter pelan. Orangtua Marcha sangat kaget dan shock ketika mendengar penjelasan dari sang dokter. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka.
“Ini ada surat dari Marcha untuk bapak dan ibu,” katanya sambil memberikan amplop cokelat.
‘Pa, Ma, maafin Marcha ya. Marcha gak bermaksud untuk membuat mama sama papa kecewa, marah, sedih, kesal, tapi Marcha ngelakuin ini demi mama sama papa. Marcha tau kok mama sama papa sayang banget sama Marcha. Marcha juga sayaang banget sama mama dan papa, tapi ini terakhir kalinya Marcha menulis surat ini. Oh iya, ma, tolong kasih amplop warna pink sama Nala ya. Suratnya ada dilaci meja belajar aku dikamar, dan aku mau mendonorkan mataku untuknya. Tolong ya mama sama papa rahasiakan ini sama Nala, sampai ia selesai operasi pendonoran mata nanti. Ada juga surat untuk Aldo, amplop yang sama tapi warna merah. Tolong dikasih sama Aldo ya ma, pa. Jangan kasih tau sama Aldo dan Nala soal penyakit aku ini. Marcha sayang banget sama mama dan papa, semuanya Marcha juga sayang. Love, Marcha.’ tulisnya dalam amplop tersebut. Kedua orangtua Marcha kaget dan sedih membaca surat terakhir dari anak kesayangannya. Tak lama, suster penjaga ruang UGD masuk dan memberitahukan sang dokter bahwa kondisi Marcha semakin kritis. Kedua orangtua Marcha segera menuju ruang UGD dan menunggu diruang tunggu bersama Nala, Tama dan bu Rina. Ibunda Marcha terus menerus menangis dan berdoa agar anak kesayangannya diberikan kesembuhan. Setelah beberapa jam menunggu, sang dokter keluar dengan wajah yang murung.
“Bagi bapak dan ibu, serta semua yang ada disini. Saya mohon agar diikhlaskan kepergian Marcha selama-lamanya. Saya sudah melakukan tindakan intensif dan semampu saya, namun Tuhan berkehendak lain. Marcha, kini sudah tidak bersama dengan kita,” jelas sang dokter pelan. Suara tangis dan teriakan memanggil nama Marcha keluar dari mulut sang bunda serta Nala. Mereka mengikhlaskan kepergian Marcha untuk selama-lamanya, meski bagi Nala dan Tama susah untuk melupakan Marcha yang sudah mereka kenal sejak kecil itu.


Seminggu setelah kepergian Marcha, kini Nala sudah bisa melihat dan merasakan keindahan dunia. Ia mendapatkan donor mata dari sahabatnya sendiri, Marcha. Lalu, ia membaca surat dari Marcha yang diberikan oleh orangtua Marcha sehari setelah sahabatnya itu meninggal.

‘Hai Nala. Apa kabar? Semoga kamu baik-baik aja ya. Aku kangeeennn banget sama kamu, kamu main dong kesini. Oh iya, selamat ya. Sekarang akhirnya kamu udah bisa melihat lagi setelah mendapatkan pendonor mata yang cocok. Tapi sayangnya, aku gak ada disamping kamu saat operasi kemarin. Gimana operasinya? Lancar kan? Semoga semuanya berjalan dengan lancar ya Nal. Seandainya kamu tau Nal, bahwa pendonor mata untuk kamu adalah aku. Aku pendonor pertama kamu, inget gak aku pernah janji sama kamu kalo aku mau cariin pendonor mata yang pas buat kamu? Itu aku orangnya Nal. Maaf, kalo aku bohongin kamu tentang semua ini. Tapi kalo aku bilang sama kamu, pasti kamu akan menolaknya. Kamu janji ya sama aku, jangan tolak permintaan aku ini. Aku begini karena aku sayang sama kamu Nal, kamu sahabat aku sejak kecil. Cuma kamu yang aku punya saat ini, maafin aku ya Nal udah gak jujur sama kamu. Pokoknya, kamu harus jadi orang yang pinter. Buat aku bangga punya sahabat seperti kamu. I love you, Nala!
Sincerely, your bestfriend.’ Nala seketika menitikkan air mata, terdiam dan menatap ke langit. Ia melihat ada sekilas wajah Marcha sedang tersenyum. “Aku akan buat kamu bangga Cha. Aku sayang sama kamu, Marcha, sahabatku sejak kecil,” katanya sambil tersenyum.







                                                  -Selesai-